Pikir Dulu, Baru Ngomong


Baru baru ini dunia maya kembali terusik dengan kicauan salah seorang dosen dari perguruan tinggi terkenal tanah air. Dengan gampang dan gamblang, ia menuding seorang ustad sebagai salah satu pengurus dari sebuah organisasi Islam yang dinilainya buruk. Setelah penelusuran yang ia lakukan sendiri, ternyata tuduhan yang digembar-gemborkannya selama ini terbukti salah, tidak mengena sedikitpun pada diri sang istad. Lantas apa yang dilakukan oleh dosen tersebut? Hanya meminta maaf dan menghapus unggahannya mengenai ustad tersebut, masalah selesai!

Saya tidak ingin menghakimi dosen tersebut dalam tulisan kali ini, karena sangat tidak etis untuk men-judge kesalahan seseorang yang sudah meminta maaf. Tapi, alangkah baiknya jika kita bisa mengambil iktibar (hikmah) dari setiap peristiwa yang berlalu didepan mata. Ketika terjadi suatu perbedaan, menyalahkan satu atau dua orang bukalah solusi yang bijak. Terlebih jika permasalahan tersebut tidak menyangkut nilai-nilai moral dan budi pekerti, lantas mengapa begitu mudah melesatkan tudingan yang tidak dimengerti?

Miris, ketika seseorang yang sepatutnya menjadi panutan bagi sesama malah harus bertekuk lutut dihadapan mulutnya sendiri. Tuduhan dan tudingan tak berdasar hanya akan mengotakkan pemirsa menjadi kubu-kubu pendukung dan penghina. Kubu penghina yang telah 'terpelintir' akal sehatnya sehingga dengan mudah mengamini apa saja yang dikatakan oleh orang yang dianggapnya benar. Gak jauh beda sebenarnya dari kkubu pendukung, hanya saja pada bahasan ini merekalah di pihak yang benar. Sadarilah, bahwa sikap skeptis dalam menerima informasi itu perlu. Gak semua yang ada di internet, atau apapun yang meluncur dari mulut orang-orang yang kita anggap baik itu benar. Manusia itu tempatnya salah, jadi jangan menutup diri dengan taklid buta bahwa orang yang kita anggap baik akan selamanya berada dalam kebaikan. Baiknya, ketika ia terjerumus, kita mau merendahkan hati untuk tidak ikut-ikutan 'nyolot' mendukung, apalagi sampai ikut-ikutan mencela  hanya demi taklid buta kita pada si 'maha benar' versinya kita.

Sebaliknya, saat kita sukses memilih kubu yang benar, sebaiknya kita tidak berpongah ria dengan 'menghabisi' junjungannya kubu lawan. Berlemah-lembutlah dan bimbing mereka ke arah yang benar. Kalau udah begini kondisi di dunia maya, ngomongin urusan apapun bakalan gampang dan potensi perpecahan bakal semakin teredam. 

Perbedaan pemahaman hendaknya diluruskan, bukan dijadikan samsak yang lantas harus keras-keras dihantam. Karena, pada dasarnya kita adalah bhineka, yang dirajut dalam persatuan tunggal ika. Semoga kita semua masih memiliki kepedulian dan akal sehat, untuk melihat warna-warni yang menghiasi cakrawala sang Indonesia raya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Beli Barang atau Beli Merek?



Pernah nyesal gak waktu memutuskan untuk beli sebuah barang?

Semua orang, bahkan saya sekalipun pernah mengalami hal tersebut!

Lantas, apakah kita pernah berfikir kenapa hal-hal tersebut bisa terjadi? Saya rasa jawabannya sih cuma satu. Merek!

Saya pernah 'mantengin' pembuktian ini dalam suatu video percobaan di brain games, dimana sekumpulan strangers dilibatkan dalam suatu eksperimen sosial. Eksperimennya cukup simpel dan sederhana, dimana mereka dikumpulkan di suatu tempat wisata. There is no something weird at the first time, just like usual. Tapi gak lama kemudian eksperimen pun dimulai.

Manajer tempat tersebut mendatangi subjek eksperimen dan menawari mereka untuk nyobain kue yang dijajakan pada dua stan disana. Sekilas, kedua tempat tersebut menawarkan kue dengan bentuk dan warna yang sama. Tapi, stan pertama menawarkan kue dengan harga sangat murah. Disisi lain, stan kedua menawarkan kue dengan harga selangit. Sampai disini, mungkin kamu bisa nebak stan siapa yang kuenya bakal laris manis.

Jika kamu menebak stan pertama bakal banjir pengunjung, kamu salah!

Ya, ternyata stan kedua yang paling laku keras! Jawaban yang diberikanpun demikian beragam. Ada yang mengatakan bahwa krimnya lebih lembut, ada yang mengatakan bahannya adalah bahan-bahan impor dan first class. Ketika dikatakan bahwa kedua kue tersebut sebenarnya terbuat dari bahan yang sama, mereka hanya tertawa bersama, menikmati tipuan dan trik dari tim sore itu.

Lantas mengapa stan kedua lebih diminati?
Jawaban dari pertanyaan diatas hanya satu, yaitu merek! Dalam studi kasus diatas, 'mahal' adalah merek yang ditawarkan. Dengan mengatakan harga kue pada stan kedua lebih mahal, orang-orang akan berfikir bahwa mereka mendapatkan sesuatu yang lebih 'bernilai' untuk mereka makan. Ketika sugesti ini berhasil masuk kedalam pikiran kita, maka berbagai sensasi menyenangkan akan muncul dalam otak. Inilah mengapa mereka yang memilih kue pada stand dua merasa bahwa krim kue tersebut lebih lembut, bahan-bahannya first class dan berbagai alasan lainnya. Kuncinya hanya satu, merek!

Serupa dengan studi kasus diatas, ketika kamu 'kepincut' itu merek, otomatis otak bakalan ngerespon hal-hal yang menyenangkan. Misalnya nih, ketika kamu pake baju kemeja kotak-kotak biru hasil nawar di tanah abang, dan di lain hari kamu pake baju kemeja bermerek yang kurang cerah warnanya tapi kamu beli di department store. Sekalipun baju pertama tadi lebih bagus, tapi karena mereknya ga terkenal, kamu bakal merasa lebih pede kalau keluar pakai baju kedua. Begitulah cara para produsen merek terkenal bekerja, sehingga akhirnya, kamu bakal beli barang yang kamu inginkan, bukan yang kamu butuhkan.

Dengan memasukkan asumsi bahwa arloji branded membuat kamu lebih gaya dibandingkan pake arloji standar di emperan toko, kamu bakal ngumpulin uang sebanyak-banyaknya untuk beli arloji tersebut. Padahal kalau dipikirin lagi, semua arloji masih 24 jam kan?
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Positive Thinking

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah, bahkan sering mendengar kata-kata 'pasaran' "Positive Thinking". Salah satu kata motivasi yang umum diucapkan, namun implementasinya dalam kehidupan sangat kurang, bahkan tidak ada sama sekali. Contoh mudah yang dapat disaksikan oleh kedua bola mata pemberian tuhan ini adalah anak-anak muda yang ngeles soal gaya hidup mereka.


Bukanlah hal yang sulit menemukan fenomena life style negatif yang ditutup-tutupi dengan kata positive thinking. Sebuah contoh sederhana saya ambil dari media sosial, yang umumnya dilakukan oleh kaum hawa. Dengan mudahnya mereka memasang foto mengumbar aurat yang membangkitkan syahwat, namun memasang caption pamungkas "Positive Thinking Aja". Di beberapa profil lainnya, ada yang membuat caption lebih konyol dari contoh pertama "Comment negatif block!".

Dari dua contoh fenomena diatas, muncul pertanyaan besar dalam benak saya

"Apa arti positive thinking bagi kalangan-kalangan diatas?" 

Menanggapi pertanyaan besar tersebut, mari kita kembali ke definisi dari kata positive thinking ini sendiri. Positive thinking sebenarnya merupakan motivasi bagi diri sendiri, untuk senantiasa berfikir hal-hal baik untuk diri sendiri dan atas segala sesuatu disekitar kita. Konstruksi pikiran (mind set) seperti ini tentunya tidak mungkin hadir dari kelakuan yang tidak baik. Manusia pada hakikatnya akan menyerap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Analogi sederhana bisa kita ambil dari penjabaran tersebut. Masyarakat belahan barat Indonesia mengonsumsi padi sebagai makanan pokok, sedangkan masyarakat belahan timur mayoritas mengonsumsi sagu. Perbedaan ini dikarenakan habitat padi yang senantiasa membutuhkan air, sehingga tidak tumbuh di daratan timur. Tidak tumbuhnya padi kemudian menjadikan masyarakat timur 'menyerap' sumber makanan pokok lain yaitu sagu. Sederhana bukan?

Analogi tersebut bisa kita masukkan kedalam konsep mind set tadi. Manusia akan mengkonstruksi pikirannya berdasarkan apa yang ia serap. Suatu pola pikir akan terbentuk sesuai dengan lingkungan seorang individu. Komunitas yang bekembang di lingkungan ini perlahan akan membentuk sebuah 'trend' yang akhirnya dianut menjadi life style. Hal yang bisa ditarik dari sini adalah korelasi bagaimana lingkungan membentuk suatu life style, terlepas dari baik buruknya hal tersebut. Persoalan sekarang adalah ketika life style yang terbentuk justru buruk bahkan menjurus ke tragedi sosial. Life style buruk yang sedang marak serta rentan diakses sekarang adalah bahaya pornografi dunia maya. Hal paling miris dari hal ini adalah tindakan seperti itu justru dilakukan oleh para kartini-kartini muda bangsa yang seharusnya beradat malu ala ketimuran. Namun seperti luka disiram cuka, hal ini justru dijadikan life style bagi sebagian kalangan kaula muda. Konyolnya, hal negatif semacam ini menjadi sesuatu yang dipandang biasa oleh mereka sehingga berubah makna menjadi positif. Nilai-nilai ketimuran warisan nenek moyang dianggap kolot dan membatasi kebebasan, digantikan oleh nilai positif mereka yang mengumbar syahwat yang berujung pada pelampiasan terlarang. Makna positive thinking yang baik pun ternodai dengan perilaku tidak senonoh berbalut caption kosong "Positive Thinking".

Menilik ke pertanyaan tadi, maka saya berasumsi bahwa segelintir kaula muda tersebut memiliki keinginan agar masyarakat menganggap apapun yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang 'positif'. Keinginan ini akhirnya bermuara pada caption tadi, dimana makna positive thinking berubah menjadi sekedar 'tuntutan' berpikir yang ditujukan ke orang lain tanpa adanya perbuatan positif dari mereka sendiri. Hal semacam ini jelas omong kosong dan sudah pasti menjadi cibiran di mata masyarakat luas. Cibiran yang datang pun tidak hanya sekedar nasihat ataupun teguran keras, ada juga ungkapan pelecehan serta yang paling memalukan dilekatkannya cap 'murahan'. Lantas, masih ingin membalut kelakuan negatif dengan  positive thinking?
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Susah Pilih Kampus


Assalamualaikum Wr.Wb

Ada pepatah lama mengatakan, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China"

Pepatah tersebut menggambarkan, betapa pentingnya ilmu bagi seseorang, bahkan jikalau harus menempuh 'safar' jauh ke negeri China. Begitu pentingnya ilmu ini, tak jarang kita lihat banyak orang mencari-cari tempat berguru terbaik yang ada di dunia. Di Indonesia, umumnya masyarakat mulai mencari tempat terbaik sejak anak memasuki bangku SMA. Orang tua akan berlomba-lomba memasukkan anaknya ke SMA-SMA unggulan disekitaran tempat tinggal mereka, atau bahkan lebih jauh, sampai harus jauh dari rumah. Animo ini pun semakin menggila ketika si anak tamat dan melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu dunia perkuliahan. Biasanya ketika sampai ditahap ini, anak sudah memiliki responsibility lebih tinggi sehingga lebih giat demi bergabung ke kampus kenamaan.

Kuliah seyogyanya memang merupakan cita-cita tertinggi bagi seorang siswa, dan bahkan menjadi tuntutan zaman saat ini. Banyak pekerjaan di masa sekarang MEWAJIBKAN para pelamar untuk setidaknya lulusan diploma, dan lebih baik lagi jika sampai ditingkat sarjana. Disamping sekedar menjadi lulusan perguruan tinggi, mereka juga menginginkan untuk bertengger di jajaran mahasiswa kampus kenamaan. Keinginan untuk masuk sebagai mahasiswa kampus besar ini bahkan sudah ada sejak masih duduk di bangku SMA karena berbagai faktor. Umumnya inilah stereotype yang menghantui pikiran adik-adik kita di bangku SMA :

1. Kampus besar menjamin kualitas pendidikan
2. Kampus besar memiliki koneksi alumni yang super besar
3. Kampus besar berakreditasi tinggi sehingga memudahkan saat mencari kerja

Tapi terkadang mereka lupa dengan 3 poin ini :

1. Persaingan memasuki kampus besar sangat sulit
2. Biaya kuliah di kampus besar juga pasti besar
3. Indeks Prestasi persemester kampus besar sangat tinggi

Mari kita bahas poin pertama, tentang sulitnya seleksi masuk ke kampus kampus kenamaan. Seleksi pertama yang harus kamu tempuh adalah SNMPTN atau seleksi undangan. Seleksi undangan ini berkapasitas 50% dari kuota kampus, tapi juga merupakan jalur yang paling susah ditembus! Kenapa? Karena semua orang, baik dia bodoh maupun pintar pasti akan mengambil jalur ini. Masalahnya lagi, kampus dengan nama mentereng PASTI menetapkan Passing Grade (PG) diatas rata-rata, dengan harapan orang-orang yang lolos adalah best of the best students.  Sebenarnya jika kamu termasuk siswa berprestasi dan memiliki trend grafik nilai yang meningkat, persaingan sulit ini bukanlah halangan yang berarti. Namun jika tidak, berarti kamu harus melewati serangkaian kursus khusus selama satu tahun terakhir bangku SMA. Untuk apa? Tentunya untuk melewati seleksi kedua

Seleksi kedua atau SBMPTN super jauh lebih sulit dibandingkan seleksi undangan tadi. Terlebih adanya batasan nilai minimal yang ditetapkan oleh masing-masing jurusan. Saya ambil contoh passing grade tertinggi dari SBMPTN tahun lalu yang dipegang oleh Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, dengan 65,7% jawaban benar. Fakultas ini bahkan mengalahkan fakultas mentereng ITB lainnya, seperti FTI (62,5%) dan FTTM (59,8%). Memang fakultas-fakultas diatas sangat sulit untuk ditembus, karena memang menjadi favorit bagi setiap siswa yang baru melepas seragam putih abu-abu. Tapi kalau berhasil lolos kesana, pasti rasa bangganya menyebar sampai ke keluarga besar. Sampai disini, sebagian besar dari pembaca mungkin akan berpikir

"Kalau masalahnya di PG, ambil saja fakultas atau jurusan dengan PG rendah, beres!"

Pendapat tersebut benar, tetapi kamu lupa satu hal :

"Apa memang itu yang benar-benar kamu inginkan?"

Alasan kenapa saya bertanya balik tentang statement diatas cuma satu, yaitu fenomena salah jurusan berjamaah yang dialami oleh banyak mahasiswa se-Indonesia. Umumnya karena adanya tekanan internal dan eksternal, calon mahasiswa baru sering salah dalam memutuskan jurusan apakah yang sesuai untuk dirinya. Tekanan-tekanan seperti teman sudah lulus jalur undangan, punya saudara yang kelewat pintar, jurusan yang diincar ternyata punya PG setinggi langit dan berbagai alasan lainnya sudah sering saya dengar dari teman-teman seperjuangan dulu ketika baru tamat SMA. Karena takut tidak bisa kuliah bareng teman seangkatan, calon maba pasti akan langsung mencari jurusan-jurusan biasa, yang penting bisa kuliah! Mereka tidak berpikir bahwa hal itu merupakan keputusan penting pertama yang harus diambil.

Jalur ketiga dan jalur yang mau tak mau harus kamu tempuh kalau tidak lolos SBMPTN adalah jalur mandiri. Jalur mandiri ini merupakan seleksi yang diadakan oleh masing-masing universitas tempat kamu melamar. Kalau menurut saya pribadi, jalur seleksi ini merupakan yang paling tidak adil. Bayangkan saja, biaya pendaftaran yang mahal karena tidak ada subsidi dari pemerintah ditambah kuotanya yang hanya 20%. Soal-soal seleksi mandiri ini berbeda-beda antara satu universitas dengan universitas lain, jadi bagi yang masih berminat untuk masuk universitas kenamaan walaupun udah 'terdampar' sejauh ini ya sebaiknya dipikir-pikir lagi sih.

Poin kedua adalah permasalahan biaya. Biaya memang masalah yang sensitif untuk dibahas namun tak mungkin pula disepelekan. Bagi mereka yang berasal dari golongan kurang berada, anggaran kuliah haruslah disusun secara signifikan agar kedepannya tidak sampai putus kuliah atau drop out. Kabar baiknya, sejak tahun 2010 silam pemerintah melalui kemendiknas (sekarang bergabung menjadi kemendikbud) telah menyediakan program bantuan bagi mahasiswa dari kalangan kurang mampu yaitu bidikmisi. Dari tahun ke tahun, program bidik misi ini telah banyak menyelamatkan generasi muda kita yang terancam tidak melanjutkan ke bangku perkuliahan. Saat saya lulus pada tahun 2015, satu orang penerima bidikmisi telah bebas dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) kuliah ditambah uang saku 600 ribu. Kemudian dilansir dari Tempo, kemenristek dikti menyampaikan bahwa uang saku penerima bidik misi akan dinaikkan menjadi 850 ribu, yang diikuti dengan kenaikan kuota dari 60 ribu menjadi 80 ribu peserta. Kenaikan demi kenaikan diharapkan akan terus terjadi bagi program bantuan yang satu ini, mengingat banyaknya potensi anak bangsa berprestasi diluar sana yang masih terkendala problema monetarial.

Disamping bidik misi, mahasiswa juga bisa memilih jalur uang kuliah tunggal (UKT) yang notabene juga merupakan salah satu program bantuan dari pemerintah dalam menunjang pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu. Sistem UKT mempersilahkan bagi para mahasiswa untuk menetapkan sendiri jumlah SPP yang ditunaikan tiap semesternya sesuai dengan kemampuan finansial keluarga. Saya akan mengambil contoh dari sistem UKT di Universitas Indonesia (UI).  SPP di UI yang dikenal dengan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dibedakan menjadi BOP-Berkeadilan (BOP-B) dan BOP-Pilihan (BOP-P). BOP-B ini terbagi menjadi 4 golongan, dengan biaya terendah untuk golongan I sebesar 0-2 juta dan biaya tertinggi untuk golongan IV sebesar 6-7,5 juta bagi program Saintek-kesehatan. Sedangkan untuk program humaniora, golongan I membayar sebesar 0-1,5 juta dan golongan IV membayar sebesar 4-5 juta. Sedangkan BOP-P hanya terbagi menjadi tiga golongan, dengan biaya terendah untuk golongan A sebesar 10 juta dan biaya tertinggi untuk golongan C sebesar 15 juta bagi program Saintek-kesehatan.

Sedangkan program humaniora diwajibkan membayar sebesar 7,5 juta untuk golongan A dan 12,5 juta untuk golongan C. Intinya, program UKT akan mengalokasikan SPP dari mahasiswa BOP-P yang membayar lebih untuk menutupi kekurangan SPP dari mahasiswa BOP-B. Dengan adanya mekanisme ini, diharapkan tercipta sinergi antar sesama mahasiswa yang bertujuan pada tolong menolong antar sesama. Nah dari sini, untuk kamu yang berasal dari keluarga kurang mampu, jangan sampai minder karena tergolong jatah BOP-B. Tunjukkan bahwa kamu memiliki kapabilitas dan orang-orang yang membayar lebih demi kamu memang tidak salah investasi. Dan untuk kamu yang punya rezeki lebih, janganlah sungkan apalagi merasa rugi jika kebagian jatah UKT yang lebih besar. Karena pepatah lama mengatakan, tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah.

Pernah dengar istilah DO dari kakak atau abang kamu dirumah? Drop Out atau disingkat DO merupakan horor tersendiri bagi para mahasiswa. Drop Out merupakan sanksi terberat dalam dunia perkuliahan, karena konsekensinya adalah pemberhentian proses ajar-mengajar antara dosen dengan mahasiswa yang bersangkutan, alias dikeluarin. Sebenarnya banyak hal yang menyebabkan seseorang terkena sanksi drop out, tapi alasan utama yang paling umum dari tahun ke tahun hanya ada satu, yaitu IP! Indeks Prestasi adalah nilai rata rata dari seluruh matakuliah yang telah diambil oleh mahasiswa. Indeks prestasi dibedakan antara Indeks Prestasi Semester (IPS), yaitu nilai rata-rata dari satu semester, dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), yaitu nilai rata-rata dari seluruh matakuliah yang pernah diambil. Demi menjaga standar mereka, kampus-kampus besar menetapkan batas minimum IP yang lebih tinggi dari kampus lainnya. Sayangnya, hal ini kurang disadari oleh para calon mahasiswa baru. Fenomena 'terlambat sadar' ini kemudian melahirkan frustasi, menurunnya semangat dan akhirnya tersisih dari dunia perkuliahan.

Sebenarnya masih banyak lagi faktor yang ada dalam dilema memilih kampus tujuan pasca SMA kelak. Tapi dari tiga penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa dibalik profit yang kamu dapat jika sukses bergabung sebagai mahasiswa kampus besar, terdapat pula rintangan yang harus kamu hadapi demi masuk kesana. Dan ketika kamu behasil masuk kesana, jangan langsung merasa pintar dan hebat! Perjuangan kehidupan masihlah sangat panjang, sedangkan kampus hanyalah miniatur sederhana dunia. Jangan pernah berhenti belajar, meskipun kamu adalah yang terbaik diatas yang terbaik. Banyak tanggung jawab yang kamu pikul, baik dari orang tua, dirimu sendiri maupun orang-orang yang kamu singkirkan demi berada diposisi ini. Seperti quotes dalam suatu film superhero "With great power comes great responsibility"
Share This:   FacebookTwitterGoogle+
Copyright © Rico's Daily Notes | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com